Senin, 21 Oktober 2019

Happiness = Hope Nothing?

“Berharap pada manusia itu sakit, berharap itu pada Tuhan”
“Sekarang tinggal serahkan semua pada Tuhan”

Pernah dengar kalimat-kalimat tersebut?  Ya, kita mengenalnya dengans sebutan tawakal.
Tawakal memiliki arti yaitu pasrah diri kepada kehendak Tuhan, percaya sepenuh hati kepada Allah SWT.

Tulisan ini berangkat dari gue yang merasa selalu degdegan setiap ngambil duit di ATM.  Kalimat-kalimat seperti “cukup nggak ya nanti?” atau keluhan “yaampun duit tabungan dikorek-korek mulu, gimana mau nikah”. Gue selalu berpikir gimana bisa menghemat dengan lebih ketat, gimana biar bisa dapet duit yang lebih banyak, padahal gue udah kerja dengan lemburan mencapai 50 jam yang hampir bisa disamakan dengan gue kerja dengan hitungan full 30 hari tanpa libur.

Melihat iklan-iklan dan motivasi bilang bahwa kalau mau sukses ya kerja keras, terus gue mikir dengan jam kerja gue yang segitu kurang keras apa lagi? Harus nambah juga jadi tukang ojek online? Jadi guru privat kaya zaman kuliah? Kok begini amat, waktu jadi mahasiswa ga punya uang pusing, sekarang udah punya gaji masih pusing. Terus salahnya dimana ya? Kenapa bahagia tidak terlihat seperti yang digambarkan?

Terlebih jika kita melihat kehidupan teman-teman sejawatku, sudah jadi pegawai tetap di BUMN, menjadi pegawai negeri yang tidak perlu memikirkan PKWT setiap tahun, sudah gendong-gendong anak, sudah ini sudah itu, lalu aku kok masih aja begini. Tuhan, tolong dicek dong kapan giliran aku bahagia? Nama ku ga terlewat, kan?

Pedagang kerupuk buta

Ketika aku pulang ke rumah dengan segala kedongkolanku di tempat kerja, aku selalu melewati perlintasan dimana di situ terdapat seorang bapak tua penjual kerupuk di pinggir jalan. Beliau hanya duduk dengan tongkat aluminium di tangan kiri nya. Sembari aku menghindari lobang di jalan yang tidak mulus itu aku berpikir, bagaimana bapak itu “bekerja keras” nya ya? Beliau hanya duduk di pinggir jalan, mengiklankan produknya saja tidak, apalagi berkeliling di jalan raya sebesar ini dengan keadaan buta.

Apakah bapak itu merasa kurang sepertiku? Apakah bapak itu berpikir untuk berusaha lebih dengan kekurangan yang dimilikinya demi mendapatkan hasil lebih? Ku rasa tidak. Bapak itu hanya diam (ya ga tau ya kalau beliau berdzikir di hatinya) dengan raut muka yang selalu sama setiap ku lihat kalau pulang kerja. lalu satu persatu motor berhenti beli kerupuk. How can it be? HE JUST SIT AND DON’T PROMOTING THOSE KERUPUKS!

Dari situ timbul pertanyaan baru di kepalaku. Apakah bapak itu bahagia dengan hasil segitu? I mean, disinilah Tuhan bekerja, mendatangkan rejeki bagi makhluknya. Siapa yang menggerakan hati pembeli itu kalau bukan Tuhan, Bapak itu hanya melakukan tugasnya yaitu bawa kerupuk dari penyuplai, terus jalan ke tempat itu, terus duduk dan layani kalo ada yang beli yang bahkan aku pun ragu bapak itu tau duit berapaan yang dikasih. Benak ku bertanya, apakah bapak itu berangkat dengan target penjualan? Kurasa tidak. 

Lalu benakku berpikir dan belajar, apakah aku kurang tawakal dan kurang berpasrah pada ketetapan-Nya? Apakah aku terus-terusan mengandalkan logika jika-maka ku dalam urusan ini? Lalu bagaimana dengan si penjual buta itu, apakah beliau bahagia dengan apa yang ia miliki?

Agama solusi bahagia?

Udah berat nih bahasannya kalau nyenggol-nyenggol agama. Tapi pernah ga sih kalian berpikir kenapa orang di dunia ini beragama? Padahal kan agama kan ribet, ga boleh ini ga boleh itu, harus ini harus itu, tapi kenapa orang memeluk erat apa yang ia yakini? Kita semua sepakat bahwa tidak ada kekuatan melebihi kuasa Tuhan. La hawla wa la kuwwata illa billah. Ga ada yang lebih dari kuasa Allah.

Berarti usahamu tetap tidak lebih dari ketentuan yang Allah sudah gariskan, bukan?
Misalnya saja, “Aku sudah belajar semaksimal mungkin, selebihnya ku serahkan padaNya mau diterima atau tidak di PNS” kalau saya tanya apakah kamu nerima kalau misalnya Tuhan ga kasih kamu lolos PNS juga keadaan-keadaan sejenis lainnya yang kamu tidak memiliki kuasa atas itu?

Pasti kamu akan menjawab, “Gapapa, mungkin ini yang terbaik menurut Nya”  

Balik ke pasal 1 bahwa tidak ada kekuatan melainkan kuasa Tuhan. Jadi akhirnya dirimu berpasrah dan berbahagia dengan itu (atau mungkin berpura-pura bahagia). Saya melihat disini ada sebuah perilaku yaitu mengembalikan tanggung jawab kepada Tuhan dan menerima apa yang Tuhan takdirkan untuk kita maka kita meyakini bahwa itu yang terbaik dari Tuhan dan yang akan membuat kita bahagia.

Rejeki yang sedikit menurut kita maka bilang Alhamdulillah, mungkin ini yang mampu mencukupi dan terbaik dari Tuhan agar saya tidak foya-foya. Pacar tidak secantik dan tampan artis korea, Alhamdulillah mungkin ini yang terbaik dari Tuhan agar saya ngaca saya ini siapa.

Semuanya dikembalikan kepada Tuhan, kamu tidak mengharapkan apapun dari usahamu dan kalaupun Tuhan belum kasih yang terbaik menurutmu lalu kamu juga akan menunggu dan umumnya bersabar dan berbaik sangka bahwa Tuhan akan memberikan yang dengan permintaanmu toh? Memangnya pernah kamu menggugat Tuhan?

“Ya Tuhan, aku kan udah kerja lembur bagai qudha, sampai lupa orang tua, kok gaji ku masih UMR?” lalu kamu marah kepada Tuhan karena merasa usamau ga dihargai, nggak kaan? Kamu hanya berpasrah dan meyakini bahwa rejeki sudah diatur.

Perilaku tawakal dan menyerahkan semua ke Tuhan ini juga merupakan ajaran dalam al-Qur’an dimana ada ayat yang memiliki arti bahwa manusia akan diuji dengan sedikit kelaparan, ketakutan, kekurangan harta dan buah-buahan dan ucapkanlah sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya.

Ayat ini mengajarkan bahwa disini semua yang ada di dunia ini milik Tuhan dan akan kembali kepadaNya, ga perlu takut-takut soalnya kita sudah dalam pengawasan Allah dan tidak akan melewati garis takdir yang sudah ditentukan. Kalau sudah takdirnya meninggal, miskin, kelaperan ya sudah, emang semua akan kembali padaNya, ga perlu posesif terhadap apa yang kita miliki sekarang, soalnya kembali ke pasal satu bahwa Tuhan yang berkuasa dan kita milik Allah kita serahkan lagi semua pada ketentuanNya.

Dengan meyakini bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik baginya dan jika itu akan membuat hati kita bahagia akan ketetapanNya, maka sejatinya bahagia itu hanya berharap kepada Nya bukan hasil logika dan hitung-hitungan matematika.

Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang tawakal di dalam Al-Quran sendiri, diantaranya Q.S. Ath-Thalaq ayat 3 yang berarti,

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”
Dalam hal ini Ibnu Qayim berkata bahwa Allah adalah yang mencukupi orang-orang yang bertawakal kepadanya dan yang menyandarkan kepada-Nya. Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya maka Allah akan melindunginya, menjaganya, dan memberikan segala macam kebutuhan yang bermanfaat. [Taisirul Azizil Hamidh Hal.503] dikutip dalam Almanhaj.or.id buset udah kaya nulis skripsi aja pake beginian.

Jadi  bisa disimpulkan bahwa kalau bertawakal kita akan dipenuhi kebutuhannya oleh Tuhan, jika kamu bergantung padaNya dan menerima segala ketentuanNya meskipun itu dirasa buruk buat kamu. Lalu jika kuasa dan takdir berada di tangan Tuhan, masih kah kita bersikeras bahwa kita memiliki kuasa atas kehidupan kita? Usaha itu harus, tapi kalau hasilnya tidak sesuai mau nyalahin siapa? Tuhan? Terus dongkol seumur hidup? Merasa Tuhan tidak adil dengan ketetapanNya? 

Rejeki dan kehidupan kita sudah diatur dan dijamin, akhirat kita yang belum.
“Expect nothing then you’ll perceived that what happened in your life is God’s will, then it is the best for you and make you happier than your hope.” –Ameng
Jumat, 20 September 2019

Bicara ketegasan


"Elu aja ga punya pendirian, ga tegas!"


Kalimat dari rekan kerja gue siang tadi, cukup menohok gue siang itu. Lalu seperti biasa, otakku langsung bereaksi atas "tamparan" yang menyehatkan itu.